Sejarah administrasi pemerintahan di Nusantara ditandai oleh dua sistem birokrasi yang sangat berbeda: sistem tradisional kerajaan-kerajaan lokal dan sistem kolonial Hindia Belanda. Kedua sistem ini mencerminkan konteks politik, ekonomi, dan sosial masing-masing zaman, dan memiliki filosofi, struktur, dan tujuan yang kontras. Memahami perbedaan mendasar ini penting untuk mengerti bagaimana kekuasaan dijalankan di Nusantara.
Sistem birokrasi kerajaan Nusantara dan Hindia Belanda memiliki perbedaan mendalam yang mempengaruhi Indonesia hingga kini. Perbedaan tersebut tampak jelas dalam beberapa aspek kunci, yang akan dibahas secara detail berikut ini.
Sumber Legitimasi dan Tujuan Pemerintahan
Legitimasi birokrasi kerajaan Nusantara bersumber dari konsep keilahian raja (dewaraja, wahyu Illahi), garis keturunan, dan dukungan bangsawan atau pemuka agama. Ini bersifat sakral dan kultural. Tujuannya adalah menjaga stabilitas kerajaan, mempertahankan kekuasaan raja, mengumpulkan upeti, dan menjalankan fungsi keagamaan dan adat. Sistem ini lebih berfokus pada pemeliharaan status quo dan simbol-simbol kekuasaan.
Berbeda dengan birokrasi Hindia Belanda yang mendapatkan legitimasi dari kekuatan militer, perjanjian kolonial, dan hukum positif Barat dari Pemerintah Pusat di Den Haag. Legitimasi ini bersifat legal-rasional. Tujuan utamanya adalah eksploitasi sumber daya alam dan manusia untuk kepentingan Belanda, serta menjaga ketertiban kolonial. Sistem ini menekankan efisiensi ekonomi dan kontrol politik yang ketat.
Struktur dan Organisasi Birokrasi
Birokrasi kerajaan Nusantara cenderung personalistik, feodal, dan hierarkis secara vertikal dengan raja di puncak. Jabatan sering diwariskan atau diberikan berdasarkan kedekatan dengan raja atau bangsawan. Belum ada pemisahan jelas antara urusan pribadi penguasa dengan urusan publik. Divisi kerja kurang kompleks dan sering tumpang tindih. Loyalitas pribadi lebih diutamakan daripada kompetensi.
Sebaliknya, birokrasi Hindia Belanda lebih rasional-legal, impersonal, dan hierarkis dengan pembagian tugas yang jelas (divisi fungsional). Jabatan didasarkan pada kualifikasi dan pendidikan, meskipun dalam praktiknya sering diskriminatif terhadap pribumi. Sistem ini memiliki departemen-departemen spesifik (keuangan, pekerjaan umum, pendidikan, dll.), kantor-kantor wilayah, dan administrasi yang terstandardisasi. Terdapat pemisahan antara urusan pribadi dan publik.
Personalia (Pejabat) dan Rekrutmen
Pejabat di kerajaan Nusantara umumnya berasal dari kalangan bangsawan (priyayi), keluarga raja, atau orang kepercayaan. Pendidikan formal bukan prasyarat utama; silsilah dan kesetiaan lebih penting. Rekrutmen dilakukan melalui penunjukan langsung oleh raja, pewarisan, atau pertimbangan koneksi pribadi.
Di Hindia Belanda, sebagian besar pejabat adalah orang Belanda Eropa atau Indo-Eropa. Sebagian kecil pribumi direkrut sebagai ambtenaar rendah setelah menempuh pendidikan khusus (OSVIA, STOVIA). Penekanan diberikan pada pendidikan Barat dan kualifikasi. Rekrutmen dilakukan melalui ujian, pendidikan formal, dan penempatan berdasarkan kebutuhan administrasi kolonial. Terdapat jenjang karier yang lebih terstruktur.
Sistem Hukum dan Aturan
Hukum di kerajaan Nusantara berbasis pada hukum adat, ajaran agama (Hindu-Buddha, Islam), dan titah raja. Interpretasi hukum sangat fleksibel, tergantung pada otoritas penguasa. Aturan belum terkodifikasi secara sistematis, seringkali bersifat lisan atau tercatat dalam prasasti/naskah terbatas.
Birokrasi Hindia Belanda menerapkan sistem hukum Barat (kontinental/Eropa) yang tertulis dan terkodifikasi secara rigid. Ada pemisahan antara hukum publik dan privat. Terdapat banyak peraturan, undang-undang, dan instruksi tertulis yang mengatur setiap aspek administrasi dan masyarakat.
Hubungan dengan Masyarakat
Hubungan birokrasi kerajaan Nusantara dengan masyarakat lebih bersifat patron-klien, dengan raja/bangsawan sebagai pelindung dan rakyat sebagai pengikut yang wajib memberikan kesetiaan dan upeti. Interaksi didasarkan pada ikatan personal dan adat. Konsep pelayanan publik modern belum ada; fokus utamanya adalah pengumpulan pajak/upeti dan mobilisasi tenaga kerja.
Birokrasi Hindia Belanda memiliki hubungan yang impersonal, formal, dan seringkali menekan. Masyarakat pribumi dipandang sebagai subjek yang harus diatur dan dieksploitasi. Layanan publik yang disediakan terbatas (pos, kereta api, pendidikan), namun tujuan utamanya tetap mendukung kepentingan kolonial.
Perbedaan fundamental antara kedua sistem birokrasi ini mencerminkan evolusi tata kelola pemerintahan. Dari sistem personalistik dan sakral, beralih ke sistem yang lebih rasional, legal, dan instrumentalistik demi kepentingan kolonial. Pemahaman ini penting untuk menelaah akar-akar birokrasi modern Indonesia, yang hingga kini masih dipengaruhi oleh kedua warisan tersebut, baik positif maupun negatif. Pengaruhnya masih terlihat dalam struktur pemerintahan, sistem hukum, dan relasi antara pemerintah dan masyarakat.
Sebagai tambahan, perlu diperhatikan bahwa kedua sistem ini bukanlah monolit. Sistem kerajaan Nusantara sendiri memiliki variasi yang cukup besar di antara berbagai kerajaan dan periode waktu. Begitu pula dengan sistem kolonial Hindia Belanda yang mengalami perkembangan dan perubahan selama bertahun-tahun.
Lebih lanjut, perlu diteliti bagaimana kedua sistem ini berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain selama masa transisi. Bagaimana sistem tradisional beradaptasi dengan sistem kolonial, dan bagaimana warisan kedua sistem ini membentuk birokrasi Indonesia modern, merupakan kajian yang menarik dan penting untuk dipahami.