UMKMJATIM.COM – Kenaikan signifikan harga kedelai impor telah memberikan tekanan berat terhadap para perajin tahu dan tempe di Kabupaten Sidoarjo,
Jawa Timur, sehingga mereka terpaksa melakukan penyesuaian produksi untuk mengimbangi kenaikan biaya bahan baku.
Kenaikan ini berdampak pada pergeseran strategi produksi, seperti pengurangan ukuran produk, guna menjaga agar harga jual tidak melonjak dan tetap terjangkau di mata konsumen.
Data lapangan menunjukkan bahwa harga kedelai impor berkualitas terbaik kini berada pada kisaran Rp 10.200 hingga Rp 10.800 per kilogram, naik tajam dibandingkan dengan harga sebelumnya yang hanya sekitar Rp 8.000 per kilogram.
Lonjakan harga ini merupakan kenaikan tertinggi dalam beberapa bulan terakhir, hingga menambah keruwetan tantangan yang dihadapi oleh para pelaku usaha tahu dan tempe.
Peningkatan biaya bahan baku secara langsung berdampak pada keuntungan para perajin, sehingga menekan daya saing mereka di pasar lokal.
Salah satu perajin tahu dari Kecamatan Taman mengungkapkan bahwa penyesuaian ukuran produk dilakukan sebagai langkah preventif agar harga jual produk tidak naik drastis.
Ia menjelaskan bahwa pengurangan ukuran tahu merupakan solusi yang harus ditempuh untuk mengimbangi naiknya biaya bahan baku, dengan tujuan agar konsumen tidak merasa terbebani dan akhirnya beralih ke produk lain.
Dalam proses produksinya, perajin tersebut mengonsumsi sekitar 1,2 ton kedelai setiap hari.
Kondisi di lapangan menunjukkan, bila penghitungan keuntungan tidak dilakukan secara cermat, maka risiko kerugian pun semakin meningkat.
Selain beban kenaikan harga impor, ketersediaan kedelai lokal yang tidak stabil dari segi kualitas turut menjadi kendala utama bagi para produsen.
Meski terdapat alternatif sumber bahan baku dari dalam negeri, mayoritas produsen lebih memilih kedelai impor dari Amerika Serikat.
Hal ini dikarenakan kedelai impor tersebut dianggap memiliki kesesuaian kualitas yang lebih baik untuk proses produksi tahu dan tempe.
Dengan demikian, ketergantungan pada impor semakin menguat, yang secara tidak langsung meningkatkan beban biaya produksi jika harga impor tetap tidak stabil.
Di sisi lain, pedagang eceran menyampaikan bahwa sampai saat ini, konsumen masih menerima perubahan ukuran tahu yang dijual di pasar.
Meskipun terjadi pengurangan ukuran, harga per biji tetap stabil, yakni sekitar Rp 2.000, sehingga konsumen lebih memilih mempertahankan pembelian tanpa harus menanggung beban kenaikan harga yang signifikan.
Adanya kesepakatan ini dianggap memberikan pelonggaran bagi para pelaku usaha, yang walaupun harus menyesuaikan ukuran produk,
setidaknya harga jualnya tidak mengalami peningkatan drastis.
Dalam kondisi yang semakin memprihatinkan ini, para perajin dan pedagang berharap agar pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi permasalahan pasokan dan penetapan harga kedelai impor.
Para pelaku usaha menginginkan adanya jaminan pasokan yang lebih stabil dan kebijakan yang dapat menekan laju kenaikan harga bahan baku.
Harapan mereka agar intervensi pemerintah dapat menyelamatkan industri rumahan tahu dan tempe, yang merupakan salah satu sektor penghasil lapangan pekerjaan dan penggerak ekonomi lokal.
Mereka menilai, tanpa adanya langkah tegas dari pemerintah, banyak usaha kecil yang berisiko harus gulung tikar karena margin keuntungan yang semakin menipis.
Langkah intervensi yang dimaksud antara lain adalah penetapan harga acuan bahan baku, penyediaan subsidi atau bantuan langsung kepada produsen, serta peningkatan koordinasi antara instansi terkait dengan pelaku usaha.
Harapannya, dengan adanya dukungan kebijakan pemerintah, industri tahu dan tempe di Sidoarjo mampu bertahan di tengah tekanan biaya produksi yang terus meningkat.
Pemerintah dianggap perlu segera merespons kondisi ini agar sektor UMKM yang selama ini menjadi penopang ekonomi masyarakat tidak mengalami keruntuhan dan tetap dapat berkembang meski dalam situasi pasar global yang tidak menentu.***