UMKMJATIM.COM – Penerapan kebijakan tarif impor baru oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mencapai 32% untuk berbagai produk asal Asia memunculkan kekhawatiran di sektor ekspor nasional.
Namun, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur justru memandang kondisi ini sebagai peluang strategis bagi pelaku industri dalam negeri.
Ketua Umum Kadin Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, menyebut situasi tersebut sebagai sebuah paradoks strategis.
Meski pada satu sisi menjadi ancaman serius bagi industri tekstil, alas kaki, elektronik, dan furnitur, di sisi lain kondisi ini membuka ruang besar bagi Indonesia untuk menggeser dominasi pesaing regional.
Adik mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki posisi yang relatif lebih kompetitif dibanding negara seperti Vietnam, Bangladesh, Thailand, hingga Kamboja.
Negara-negara itu diketahui terkena tarif impor yang jauh lebih tinggi, bahkan ada yang mencapai 49%.
Dengan beban tarif lebih rendah, harga produk ekspor Indonesia menjadi semakin menarik bagi pasar Amerika Serikat.
Ia meyakini perusahaan-perusahaan AS akan berupaya mencari pemasok alternatif yang mampu menawarkan harga lebih bersaing.
Kondisi ini bisa dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku industri nasional untuk memperluas pasar ekspor.
Menurutnya, Jawa Timur memiliki modal kuat untuk merespons dinamika tersebut.
Infrastruktur pelabuhan yang lengkap, klaster industri tekstil yang sudah matang, serta struktur biaya produksi yang lebih efisien menjadi tiga faktor pendukung utama.
Adik memperkirakan, potensi peningkatan nilai ekspor tekstil asal Indonesia ke AS bisa mencapai USD 3 miliar.
Bahkan, dalam skenario optimistis, Indonesia berpeluang menduduki posisi ketiga sebagai eksportir tekstil terbesar ke pasar Amerika, dengan Jawa Timur sebagai motor penggerak utamanya.
Walaupun begitu, ia mengingatkan bahwa tantangan persaingan belum sepenuhnya hilang.
Malaysia, misalnya, terkena tarif impor sebesar 24%, yang artinya memiliki peluang yang sama besar dalam memikat pembeli AS.
Karena itu, Adik menekankan pentingnya langkah cepat dan tepat agar Indonesia tidak kehilangan momentum.
Ia juga menyoroti tiga faktor kunci yang harus segera dilakukan pemerintah dan pelaku usaha, yaitu percepatan kebijakan pendukung ekspor,
peningkatan efisiensi produksi, dan kemampuan membaca perubahan pola belanja konsumen di pasar global.
Menurutnya, ini bukan sekadar soal bertahan menghadapi tekanan tarif tinggi, tetapi menjadi kesempatan langka untuk menjadikan Jawa Timur sebagai episentrum baru ekspor Asia dalam sektor tekstil dan produk manufaktur lainnya.
Adik berharap semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, daerah, hingga pelaku industri, berani mengambil keputusan cepat dan presisi agar peluang besar ini tidak hilang.***