UMKMJATIM.COM – Pabrik Gula (PG) Gempolkrep, yang berada di bawah naungan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN), tengah menghadapi tantangan berat.
Rendahnya penyerapan gula di pasar membuat produksi melimpah tidak segera terserap, sehingga menimbulkan penumpukan besar-besaran di gudang.
Manajemen pabrik mencatat, sejak empat periode giling terakhir, produksi telah mencapai sekitar 8.000 ton gula dengan kapasitas harian antara 450 hingga 500 ton.
Namun, sebagian besar stok tersebut belum terjual dan kini menumpuk hingga 35 ribu ton.
General Manager PG Gempolkrep, Edy Purnomo, menyampaikan bahwa kondisi ini bukan hanya menimbulkan masalah ruang penyimpanan, tetapi juga berpotensi mengganggu kelancaran operasional perusahaan.
Beban biaya tambahan mulai dari transportasi, pembayaran sopir, hingga kebutuhan pendanaan operasional lainnya semakin membengkak.
Dengan harga lelang gula yang saat ini dipatok minimal Rp14.500 per kilogram, pabrik berharap pasar kembali bergairah. Namun, kenyataannya, penjualan berjalan sangat lambat.
Edy menegaskan bahwa semakin lama stok tidak terserap, maka semakin besar pula risiko kerugian.
Mengingat kapasitas giling pabrik bisa mencapai 6.500 ton tebu per hari, hasil produksinya otomatis terus menambah tumpukan gula yang belum laku.
Situasi penumpukan gula ini dinilai membutuhkan intervensi dari pemerintah. Edy menekankan bahwa dukungan distribusi dari pemerintah akan sangat membantu memperlancar penyerapan pasar.
Menurutnya, kelancaran distribusi gula nasional tidak hanya berdampak pada perusahaan, tetapi juga memberi keuntungan besar bagi petani tebu serta memperkuat ekonomi nasional.
Ia mengingatkan bahwa nilai produksi gula nasional mencapai angka triliunan rupiah, sehingga optimalisasi distribusi akan menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara produksi dan kebutuhan pasar.
“Jika distribusi berjalan lancar, petani akan mendapat manfaat langsung dari harga yang stabil, sedangkan roda perekonomian nasional juga ikut bergerak,” ungkapnya.
Fenomena penumpukan gula di PG Gempolkrep menggambarkan masalah klasik yang kerap dihadapi industri gula nasional: tingginya produksi tidak sejalan dengan daya serap pasar.
Faktor lesunya konsumsi, keterbatasan jalur distribusi, serta persaingan harga dengan gula impor semakin memperburuk kondisi ini.
Apabila masalah distribusi tidak segera teratasi, bukan hanya pabrik yang terdampak, tetapi juga ribuan petani tebu yang menggantungkan hidup pada kelancaran industri gula.
Kasus yang menimpa PG Gempolkrep Mojokerto menunjukkan betapa pentingnya sinergi antara produsen, pemerintah, dan pelaku pasar dalam menjaga keseimbangan industri gula nasional.
Dengan dukungan kebijakan distribusi yang tepat, diharapkan stok gula yang menumpuk bisa segera terserap, sehingga keberlanjutan operasional pabrik tetap terjaga dan petani tebu tetap sejahtera.***