UMKMJATIM.COM – Kenaikan harga kedelai impor berdampak serius terhadap kelangsungan usaha perajin tempe di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Mereka kini harus memutar otak agar tetap bisa bertahan di tengah lonjakan biaya produksi yang tidak sebanding dengan daya beli masyarakat yang sedang lesu.
Di Desa Wotan, Kecamatan Pulung, salah satu perajin tempe bernama Suwandi mengaku harus menyiasati kondisi sulit tersebut dengan mengecilkan ukuran tempe yang diproduksinya.
Langkah ini diambil untuk menghindari kerugian tanpa harus menaikkan harga jual, yang dikhawatirkan justru akan membuat konsumen enggan membeli.
Suwandi menuturkan bahwa sebelumnya harga kedelai impor masih berkisar di angka Rp9.200 per kilogram.
Namun menjelang momentum Lebaran 2025, harga tersebut melonjak secara bertahap hingga mencapai Rp10.500 per kilogram.
Kenaikan ini sangat terasa membebani usaha rumahan yang selama ini menjadi sumber penghasilan utama para perajin tempe.
Menurutnya, menyesuaikan harga tempe ke konsumen bukan pilihan bijak karena masyarakat juga sedang mengalami penurunan daya beli.
Maka dari itu, satu-satunya cara yang dianggap paling memungkinkan adalah dengan mengecilkan ukuran tempe tanpa mengubah harga jual di pasar.
Keluhan serupa juga datang dari Sugiyanti, perajin tempe lainnya yang juga berasal dari Ponorogo. Ia mengungkapkan bahwa kondisi pasar saat ini sangat sepi.
Di tengah sulitnya pemasaran produk, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa biaya produksi terus meningkat seiring dengan naiknya harga bahan baku utama.
Biasanya, saat harga kedelai masih tergolong stabil dan murah, Sugiyanti bisa membeli lebih dari satu ton untuk dijadikan stok.
Namun kini, dengan harga yang merangkak naik, ia terpaksa mengurangi jumlah pembelian menjadi setengahnya.
Bahkan, demi menjaga loyalitas pelanggan, ia juga mengambil langkah serupa dengan memperkecil ukuran tempe yang dijual.
Sugiyanti menambahkan bahwa menaikkan harga jual tempe bukanlah solusi karena konsumen sudah banyak mengeluhkan harga kebutuhan pokok yang naik secara umum.
Kondisi ini menjadi pukulan berat bagi para perajin tempe yang menggantungkan hidup pada usaha produksi kedelai fermentasi tersebut.
Mereka berharap agar pemerintah bisa mengambil langkah konkret untuk menstabilkan harga kedelai impor, atau memberikan dukungan bagi produsen tempe lokal agar tetap bisa bertahan.
Para pelaku UMKM di sektor pangan seperti Suwandi dan Sugiyanti kini berada di persimpangan sulit.
Jika kondisi ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan banyak perajin yang akan gulung tikar karena tidak mampu menutup biaya produksi yang terus membengkak.
Tingginya harga kedelai impor ini menjadi bukti rentannya sektor pangan berbasis bahan baku impor terhadap fluktuasi ekonomi dan pasar global.
Harapan terbesar mereka kini tertuju pada stabilitas harga dan kebijakan pemerintah yang berpihak pada keberlanjutan usaha kecil menengah.***