UMKMJATIM.COM – Bagi para buruh tebang tebu di Kediri, musim panen menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu.
Selama periode Mei hingga September, mereka bisa bekerja setiap hari karena kemarau mendukung panen berlangsung tanpa hambatan.
Dalam kurun waktu empat bulan tersebut, rata-rata upah yang diterima berkisar Rp70.000 hingga Rp100.000 per hari, tergantung luas lahan dan jumlah tebu yang berhasil dipanen.
Sumiati, salah seorang buruh asal Desa Bulusuba, Kecamatan Pare, mengaku selalu menantikan masa panen.
Ia menyebutkan bahwa musim kemarau ibarat berkah yang mampu memberikan pemasukan tetap setiap hari.
Menurutnya, bekerja sebagai buruh panen memang melelahkan, tetapi hasil yang diperoleh cukup membantu menopang kebutuhan keluarga.
Kebahagiaan itu sayangnya tidak berlangsung lama.
Setelah masa panen dan tanam berakhir, para buruh kembali menghadapi kenyataan pahit: kehilangan pekerjaan.
Sumiati mengungkapkan bahwa selama delapan bulan di luar musim tebu, ia harus mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ia pun memilih menjadi buruh cuci di rumah-rumah tetangga.
Pekerjaan ini dilakukan bukan hanya untuk menutupi biaya sehari-hari, tetapi juga untuk menyambung kehidupan di tengah ketiadaan penghasilan dari sektor pertanian tebu.
Sumiati menegaskan bahwa kondisi tersebut seringkali membuat para buruh musiman berada dalam situasi sulit, terutama karena kebutuhan dapur tidak pernah berhenti meski pekerjaan terbatas.
Selain masalah ketidakpastian pekerjaan, faktor usia juga menjadi tantangan tersendiri.
Sumiati mengaku tubuhnya kini semakin renta, sehingga tenaga yang ia miliki tak sekuat dulu.
Keinginan untuk memiliki usaha sendiri pun muncul, agar ia tidak selalu bergantung pada musim panen.
Dengan usaha mandiri, ia berharap bisa memperoleh penghasilan yang lebih rutin dan stabil.
Harapan sederhana ini sejatinya juga dirasakan oleh banyak buruh tebu lainnya. Mereka membutuhkan akses pelatihan, modal, dan dukungan pemerintah agar dapat beralih atau menambah sumber penghasilan.
Sektor usaha kecil menengah, misalnya, bisa menjadi jalan keluar untuk memperkuat ketahanan ekonomi keluarga petani musiman.
Kisah Sumiati hanyalah satu dari ribuan cerita buruh tebang tebu di Jawa Timur. Peran mereka sangat vital dalam rantai pasok gula, namun kesejahteraan masih jauh dari kata memadai.
Upah harian yang diterima memang cukup besar saat panen, tetapi hanya berlangsung beberapa bulan, sehingga tidak mampu menjamin kestabilan ekonomi keluarga sepanjang tahun.
Penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lain untuk menaruh perhatian pada kelompok pekerja musiman ini.
Program pemberdayaan, diversifikasi lapangan kerja, hingga perlindungan sosial perlu diperluas agar buruh tebang tebu tidak lagi terjebak dalam siklus pendapatan musiman yang penuh ketidakpastian.
Dengan langkah nyata tersebut, senyum para buruh tebu saat musim panen diharapkan tidak berubah menjadi keresahan saat musim berganti.
Mereka berhak atas kehidupan yang lebih layak, seiring kontribusi besar yang diberikan pada sektor pertanian Indonesia.***