UMKMJATIM.COM – Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dan lapangan kerja yang semakin kompetitif, masyarakat mulai mencari berbagai cara kreatif untuk menambah penghasilan.
Salah satu peluang yang kini semakin banyak diminati adalah budidaya kroto atau telur semut rangrang.
Usaha ini dinilai menjanjikan karena modalnya kecil, perawatannya mudah, dan bisa dijalankan dari rumah.
Kroto dikenal sebagai telur semut rangrang (Oecophylla smaragdina) yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Selama ini, kroto banyak digunakan sebagai pakan burung kicau, pakan ikan, hingga umpan memancing.
Permintaan yang terus meningkat dari kalangan penghobi burung dan toko pakan hewan membuat usaha ini memiliki prospek cerah, terutama bagi masyarakat yang ingin memulai bisnis rumahan dengan modal terbatas.
Permintaan Tinggi, Pasokan Alam Menipis
Selama bertahun-tahun, kroto biasanya diperoleh langsung dari alam. Namun, karena eksploitasi yang berlebihan, populasi semut rangrang di alam mulai berkurang, sehingga stok kroto alami semakin sulit ditemukan.
Kondisi ini membuka peluang besar bagi para pembudidaya untuk menyediakan kroto secara berkelanjutan melalui sistem ternak buatan.
Harga kroto di pasaran juga menjadi faktor utama mengapa banyak orang tertarik terjun ke bisnis ini.
Saat ini, harga kroto segar di tingkat lokal berkisar antara Rp80.000 hingga Rp120.000 per kilogram, tergantung kualitas dan wilayah penjualan.
Harga tersebut cenderung stabil karena tingginya permintaan dan terbatasnya pasokan.
Menurut laporan dari beberapa pasar burung dan toko pakan, permintaan kroto justru meningkat setiap bulan, terutama di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang dikenal memiliki banyak penghobi burung kicau.
Salah satu pembudidaya asal Sumenep, Ahmad (28), mengungkapkan bahwa dirinya memulai usaha kroto karena sulit mendapatkan pekerjaan tetap.
Awalnya ia hanya mencoba sebagai hobi untuk mengisi waktu luang, namun kini hasilnya cukup membantu perekonomian keluarga.
“Awalnya hanya coba-coba karena belum punya kerja tetap. Ternyata hasilnya lumayan, tiap bulan bisa dapat tambahan penghasilan dari kroto,” ungkapnya.
Ahmad menggunakan ruangan kecil di rumahnya untuk membuat rak dan toples sebagai sarang semut rangrang.
Dengan ketelatenan dan kesabaran, koloni semut yang ia pelihara kini mampu menghasilkan ratusan gram kroto setiap panen.
Ia menjual hasilnya langsung ke toko pakan hewan di Sumenep dengan harga yang bersaing.
Budidaya kroto dianggap sebagai salah satu bentuk wirausaha mandiri berbasis rumah tangga yang dapat dijalankan siapa saja, baik di desa maupun di kota.
Modal yang dibutuhkan relatif kecil, yakni sekitar Rp500.000–Rp1.000.000 untuk membeli wadah, koloni semut, dan perlengkapan sederhana.
Selain itu, pemeliharaannya tidak memerlukan lahan luas dan bisa dilakukan di ruangan tertutup, sehingga cocok untuk masyarakat dengan keterbatasan ruang.
Dalam jangka panjang, usaha ini juga memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi skala lebih besar dengan sistem kemitraan atau pemasaran online.
Pemerintah daerah di beberapa wilayah bahkan mulai memberikan pendampingan usaha mikro untuk budidaya kroto, karena dinilai mampu membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Fenomena budidaya kroto membuktikan bahwa peluang bisnis tidak selalu membutuhkan modal besar.
Dengan kreativitas, kesabaran, dan kemauan belajar, siapa pun bisa mengubah hobi sederhana menjadi sumber penghasilan yang nyata.
Bagi masyarakat yang kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap, usaha kroto bisa menjadi alternatif menjanjikan untuk mencapai kemandirian ekonomi di tengah ketatnya persaingan kerja.***

					





						
						
						
						
						



