UMKMJATIM.COM – Disebutkan bahwa kenaikan harga kedelai impor kembali menjadi momok menakutkan bagi para pengrajin tahu dan tempe di Kabupaten Banyuwangi.
Biaya produksi yang semakin melonjak membuat banyak pelaku usaha kecil ini harus memutar otak agar bisa terus bertahan di tengah situasi sulit.
Salah satu produsen tahu di Banyuwangi, Mifa Miftahul Jannah, yang berasal dari Dusun Cangaan, Desa Genteng Wetan, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap tren kenaikan harga kedelai yang belakangan semakin mengkhawatirkan.
Mifa menyebutkan bahwa untuk saat ini harga kedelai impor sudah mencapai harga Rp9.900 per kilogram.
Padahal, pada Januari 2025, harga tersebut masih berada di kisaran Rp9.000 per kilogram.
Mifa mengingatkan bahwa pengalaman pahit di tahun 2023, ketika harga kedelai impor sempat melonjak hingga Rp14.000 per kilogram, masih membekas kuat dalam ingatannya.
Saat itu, tingginya harga bahan baku memaksanya untuk menghentikan produksi tahu karena harga jual produk yang tidak mampu menutupi biaya produksi.
Kondisi tersebut akhirnya membuat usahanya terpaksa tutup sementara.
Dengan tren kenaikan harga yang terus berlanjut, Mifa menyampaikan harapannya agar pemerintah segera turun tangan untuk menstabilkan harga kedelai impor.
Mifa juga menilai, tanpa adanya intervensi dari pemerintah, harga kedelai berpotensi untuk terus melambung sehingga bisa memperparah kondisi para pengrajin tahu dan juga tempe.
Fenomena ini menambah kekhawatiran bagi keberlangsungan industri tahu dan tempe di wilayah Banyuwangi.
Banyak pengrajin lain juga merasakan tekanan serupa akibat tingginya biaya bahan baku yang membuat margin keuntungan semakin tipis, bahkan mendekati kerugian.
Kebutuhan terhadap kedelai sebagai bahan utama dalam produksi tahu dan tempe memang tidak bisa dihindari.
Keterbatasan produksi kedelai lokal serta ketergantungan pada impor membuat fluktuasi harga menjadi ancaman nyata.
Oleh sebab itu, para pelaku usaha kecil berharap adanya langkah konkret dari pemerintah, seperti pengendalian harga kedelai, subsidi bahan baku, atau pembukaan jalur distribusi alternatif yang lebih stabil.
Pentingnya stabilitas harga kedelai ini tidak hanya berdampak pada kelangsungan usaha para pengrajin, tetapi juga pada harga jual tahu dan tempe di pasaran.
Bila harga bahan baku terus naik, masyarakat sebagai konsumen akhir pun akan terkena imbas dari lonjakan harga produk olahan kedelai.
Para pengrajin berharap pemerintah daerah maupun pusat dapat segera mengambil kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi lonjakan harga kedelai.
Tanpa dukungan nyata, mereka khawatir sektor produksi tahu dan tempe, yang menjadi sumber mata pencaharian ribuan orang di Banyuwangi, akan terus tertekan dan bahkan terancam gulung tikar.
Melihat situasi ini, dukungan pemerintah sangat dinantikan demi menjaga keberlangsungan usaha tradisional yang menjadi bagian dari kehidupan ekonomi masyarakat lokal.
Harapan besar disematkan pada kebijakan yang dapat memberikan stabilitas harga dan menjaga keberlanjutan industri tahu dan tempe di tengah tantangan ekonomi global.***