UMKMJATIM.COM – Dalam dunia bisnis, memahami perbedaan antara aset dan nilai perusahaan sangat penting, terutama ketika perusahaan tengah mencari tambahan modal—baik dalam bentuk pinjaman maupun investasi ekuitas.
Banyak pelaku usaha yang masih menyamakan keduanya, padahal dalam konteks negosiasi dengan bank atau investor, perhitungannya sangat berbeda dan memiliki dampak besar pada keputusan pendanaan.
Mari kita ambil contoh perusahaan fiktif, Perusahaan X. Perusahaan ini memiliki total aset senilai Rp1 miliar, terdiri dari aset tetap dan piutang (invoice).
Tim operasionalnya kuat dan solid, serta mencatat omzet tahunan sebesar Rp2 miliar. Kini, perusahaan ingin mendapatkan suntikan dana sebesar Rp2 miliar.
Pertanyaannya, apakah perusahaan ini layak mendapat pinjaman Rp2 miliar dengan skema cicilan selama tiga tahun?
Atau, apakah investor akan tertarik menyuntikkan dana sebesar itu untuk mendapatkan 10% saham?
Untuk menjawabnya, kita harus memahami bahwa aset mencerminkan apa yang dimiliki perusahaan secara fisik atau finansial,
sementara nilai perusahaan (valuation) mencerminkan potensi keseluruhan bisnis, termasuk prospek pertumbuhan, kekuatan tim, loyalitas pelanggan, dan keunggulan kompetitif lainnya.
Dalam konteks pinjaman, lembaga keuangan umumnya akan menilai kelayakan berdasarkan nilai aset—dan itu pun terbatas.
Lembaga perbankan misalnya, dikenal konservatif. Mereka biasanya hanya mengakui aset tetap sebagai jaminan, terutama tanah dan bangunan.
Kendaraan sering kali tidak diterima, kecuali diproduksi dalam 5 tahun terakhir. Mesin produksi pun belum tentu diakui sebagai jaminan yang bernilai tinggi.
Maka, walaupun Perusahaan X memiliki omzet yang menjanjikan, jika aset tetapnya terbatas, peluang mendapat pinjaman Rp2 miliar cukup kecil.
Sebaliknya, ada lembaga pembiayaan non-bank yang lebih progresif, seperti perusahaan leasing atau pegadaian.
Mereka cenderung fleksibel dalam menerima aset sebagai jaminan, walaupun nilai yang diberikan biasanya lebih rendah dari harapan pemohon.
Misalnya, laptop yang baru dibeli mungkin hanya bisa digadai dengan nilai Rp1 juta—jauh dari harga belinya.
Dalam konteks penanaman modal ekuitas, investor tidak terlalu fokus pada nilai aset. Mereka lebih tertarik pada potensi pertumbuhan dan keuntungan jangka panjang.
Jika Perusahaan X mengajukan dana Rp2 miliar untuk ditukar dengan 10% saham, berarti valuasi perusahaannya dianggap Rp20 miliar.
Ini jauh di atas nilai asetnya. Maka, investor akan mempertimbangkan banyak aspek lain, seperti proyeksi pertumbuhan omzet, margin laba, keunikan produk, dan pengalaman tim manajemen.
Jika semua faktor itu menunjukkan potensi besar, suntikan modal bisa saja disetujui meski asetnya tidak seberapa.
Kesimpulannya, saat hendak bernegosiasi terkait modal usaha, pelaku bisnis harus mampu memisahkan perhitungan aset dan nilai perusahaan, dan memahami logika penilaian dari pihak pemberi modal.
Dengan begitu, strategi negosiasi dapat disesuaikan—apakah lebih cocok mengajukan pinjaman ke lembaga konservatif, mencari pendanaan dari investor strategis, atau menggunakan aset pribadi sebagai jaminan sementara.
Pemahaman ini sangat penting agar tidak salah langkah dalam meraih dukungan dana yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan usaha.***