UMKMJATIM.COM – Memasuki bulan Safar dalam kalender Hijriyah atau yang dikenal sebagai bulan Sapar dalam kalender Jawa, masyarakat Madura kembali menghidupkan tradisi kuliner khas yang telah diwariskan secara turun-temurun, yaitu penyajian Bubur Sapar.
Hidangan ini menjadi simbol kebersamaan sekaligus diyakini memiliki makna filosofis untuk menolak kesialan.
Bubur Sapar dikenal dengan cita rasa manis dan gurih yang khas. Untuk bahan utamanya terdiri dari bubur grendul, bubur sumsum, dan juga ketan hitam.
Beberapa masyarakat bahkan menambahkan bubur mutiara untuk mempercantik tampilan sekaligus memberikan sensasi rasa yang lebih lengkap.
Sejak tanggal 1 Safar atau bertepatan dengan 26 Juli 2025, suasana di berbagai daerah di Madura semakin semarak.
Warga masyarakat mulai berbagi Bubur Sapar kepada keluarga, tetangga, tidak ketinggalan hingga kerabat dekat.
Tidak sedikit pula yang lebih mengutamakan untuk mengantarkannya kepada para alim ulama dan kiai sebagai bentuk penghormatan.
Ibu Aang, seorang penjual Bubur Sapar berusia 50 tahun di kawasan Kota Sumenep, menuturkan bahwa meski zaman terus berubah dan makanan modern semakin menjamur, Bubur Sapar tetap memiliki tempat di hati masyarakat.
Dirinya mengungkap bahwa setiap tahun tradisi ini selalu dinantikan dan menjadi momen untuk mempererat silaturahmi.
Menurutnya, masyarakat Madura zaman dahulu meyakini bahwa bulan Safar merupakan bulan yang penuh dengan kesialan.
Oleh karena itu, tradisi berbagi Bubur Sapar dianggap sebagai salah satu cara untuk menolak bala atau menghindarkan diri dari segala bentuk kesialan.
Hingga kini, keyakinan tersebut masih dipegang sebagian masyarakat dan tercermin dari tingginya permintaan terhadap Bubur Sapar setiap tahun.
“Banyak pelanggan yang sengaja membeli Bubur Sapar bukan hanya untuk dinikmati sendiri, tetapi juga dibagikan kepada orang lain,” ujar Ibu Aang.
Ia menambahkan bahwa fenomena ini menjadi bukti bahwa tradisi buang sial melalui pembagian Bubur Sapar masih tetap hidup di tengah masyarakat modern.
Selain nilai spiritual, Bubur Sapar juga memiliki nilai sosial yang tinggi.
Tradisi ini memperkuat rasa kebersamaan dan gotong royong karena masyarakat saling berbagi makanan tanpa memandang perbedaan.
Bahkan, tidak jarang kegiatan berbagi Bubur Sapar dijadikan momen untuk mempererat hubungan antarwarga.
Pemerhati budaya lokal menilai, keberlangsungan tradisi Bubur Sapar menjadi contoh nyata bagaimana kearifan lokal dapat bertahan di tengah gempuran budaya global.
Khususnya untuk masyarakat Madura, Bubur Sapar tidak hanya makanan musiman, melainkan sebuah identitas budaya yang mencerminkan nilai-nilai luhur, mulai dari kebersamaan hingga rasa syukur.
Dengan antusiasme masyarakat yang tidak pernah surut, tradisi Bubur Sapar diprediksi akan terus bertahan sebagai bagian penting dari budaya Madura.
Di tengah perkembangan zaman, kuliner ini membuktikan bahwa warisan leluhur dapat tetap lestari dan bahkan menjadi kebanggaan daerah.***