UMKMJATIM.COM – Di tengah derasnya perubahan zaman dan gaya hidup modern, sekelompok pemuda di Desa Pandiyangan, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, memilih langkah yang berbeda.
Alih-alih terbawa arus globalisasi, mereka justru kembali menekuni warisan budaya yang telah lama menjadi identitas bangsa, yaitu batik.
Gerakan ini dipelopori oleh Rokib, seorang Pemuda Pelopor Kabupaten Sampang yang dikenal aktif dalam bidang Sumber Daya Alam, Lingkungan, dan Pariwisata.
Ia menggagas program batik sekolah yang unik, di mana para siswa bukan hanya mengenakan seragam batik, melainkan juga menjadi pengrajin yang membuatnya sendiri.
Rokib bersama kelompok pemuda desa bergerak di UMKM Batik Ratu, sebuah usaha lokal yang tidak hanya fokus pada produksi dan pemasaran, tetapi juga memiliki visi edukatif.
Mereka berupaya menularkan kecintaan terhadap batik kepada generasi muda agar keterampilan ini tidak hilang ditelan perkembangan zaman.
Melalui kerja sama dengan sejumlah sekolah di Robatal, kegiatan membatik diperkenalkan sebagai aktivitas pembelajaran yang menyenangkan sekaligus bermakna.
Ia menjelaskan dalam sebuah acara dialog publik di RRI Sampang, bahwa kolaborasi tersebut berawal dari langkah sederhana dengan menggandeng kepala sekolah tingkat SMP dan SMA.
Para siswa diajak mengikuti pelatihan membatik secara bertahap. Hasil karya mereka nantinya tidak hanya dipamerkan, tetapi dijadikan seragam yang dikenakan pada hari-hari tertentu.
Dengan cara ini, siswa dapat merasakan kebanggaan tersendiri saat mengenakan hasil karya mereka.
Program tersebut pertama kali diterapkan di SMA Raudhatul Islam. Siswa kelas dua dan tiga diwajibkan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler membatik. Mereka belajar mulai dari sejarah batik sebagai budaya dunia, teknik menggambar motif, penggunaan malam, hingga proses pewarnaan dan finishing kain.
Pendekatan ini membuat para pelajar memahami batik tidak sekadar sebagai busana, tetapi sebagai identitas budaya yang memiliki nilai luhur.
Awalnya, sebagian pelajar mempertanyakan manfaat kegiatan membatik. Namun, setelah mengetahui bahwa batik telah diakui dunia sebagai warisan budaya tak benda, semangat mereka berubah.
Antusiasme tumbuh ketika mereka berhasil menghasilkan karya yang kemudian dipakai sebagai seragam sekolah. Kebanggaan itu menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya bangsa.
Keberhasilan implementasi di satu sekolah membuat program ini mulai diikuti oleh sekolah lain di Desa Pandiyangan dan wilayah Robatal.
Walaupun belum semua lembaga pendidikan mewajibkan kegiatan membatik, tren keterlibatan terus meningkat.
Banyak guru dan orang tua melihat bahwa kegiatan ini bukan hanya bermanfaat dalam aspek keterampilan, tetapi juga membangun karakter, kreativitas, dan rasa tanggung jawab siswa.
Rokib menyampaikan harapannya agar seluruh pelajar memperoleh pengalaman berinteraksi dengan warisan budaya melalui proses membatik.
Baginya, pelestarian budaya akan berjalan efektif jika generasi muda dilibatkan secara langsung.
Ia mendorong pemuda desa untuk tidak hanya menjadi penonton dalam proses perubahan, tetapi menjadi aktor yang memberikan kontribusi nyata.
Menurutnya, kekayaan budaya yang dimiliki bangsa akan tetap bertahan jika dikemas secara kreatif.
Program batik sekolah menjadi contoh nyata bagaimana kreativitas bisa menyatu dengan tradisi sehingga memberikan nilai ekonomi, edukasi, dan sosial sekaligus.
Upaya pemuda Pandiyangan ini menunjukkan bahwa pelestarian budaya bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga bisa tumbuh dari inisiatif akar rumput yang digerakkan oleh semangat kebersamaan.***











