UMKMJATIM.COM – Perubahan iklim yang semakin sulit ditebak kini benar-benar dirasakan dampaknya oleh para petani cengkeh di Kecamatan Songgon.
Salah satu yang paling merasakan perubahan ini adalah perkebunan cengkeh Bayu Kidul.
Kepala Perkebunan Bayu Kidul, Sunarsis, menuturkan bahwa penurunan produksi telah berlangsung secara konsisten selama delapan tahun terakhir.
Suasana di rumah kebunnya yang dikelilingi pohon-pohon cengkeh tua menjadi pengingat masa-masa ketika pola musim masih berjalan normal dan panen berlangsung rutin.
Sunarsis mengenang bahwa dulu perbedaan musim sangat jelas—ketika memasuki musim hujan, curah hujan turun teratur, sementara pada musim kemarau panas terasa stabil selama berbulan-bulan.
“Dulu, iklim itu berjalan sangat tegas. Kalau musim hujan ya hujan, kalau musim panas ya panas. Setiap tahun tanaman bisa berbunga dan panen,” ujarnya pada Rabu, 26 November 2025.
Kondisi tersebut membuat petani dapat memperkirakan waktu berbunga dan panen dengan mudah, sehingga produktivitas relatif stabil dari tahun ke tahun.
Namun perubahan iklim yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir membuat situasi berbalik.
Cengkeh merupakan tanaman yang memerlukan masa kering minimal dua bulan tanpa hujan untuk merangsang munculnya bunga.
Dalam kondisi ideal, tiga bulan kemarau akan menghasilkan pembungaan maksimal sehingga setiap pucuk mampu mengeluarkan bunga secara merata.
“Kalau bisa tiga bulan, lebih bagus lagi. Tiap pucuk bisa keluar bunga semua,” jelasnya.
Sayangnya, kondisi ideal tersebut kini hampir tidak pernah terjadi. Curah hujan yang meningkat dan musim kemarau yang tidak stabil mempengaruhi kemampuan tanaman dalam beradaptasi.
Musim panas sering kali hanya berlangsung sebentar, lalu kembali diguyur hujan sebelum tanaman siap berbunga.
Akibatnya, siklus berbunga menjadi tidak teratur dan hasil panen menurun tajam.
“Kalau tidak ada musim panas dua sampai tiga bulan, cengkeh tidak bisa berbunga. Seolah-olah dibayi, tidak jadi panen,” keluhnya.
Situasi pada tahun 2025 semakin mempertegas tingkat keparahan masalah ini. Menurut Sunarsis, tahun ini merupakan tahun tanpa panen.
Kondisi tersebut jauh lebih buruk dibandingkan tahun 2024 ketika masih ada sedikit hasil, meskipun hujan yang terlalu basah membuat kualitasnya menurun.
“Tahun 2025 ini kosong. Tahun lalu 2024 masih ada panen kecil, tapi hujannya terlalu basah. Melihat kondisi sekarang, sepertinya tahun depan juga kosong lagi,” tuturnya.
Kondisi ini membuat banyak petani cengkeh di wilayah Songgon mengalami tekanan ekonomi yang cukup berat.
Penurunan produksi yang terus-menerus membuat biaya perawatan kebun tidak sebanding dengan hasil yang diterima.
Beberapa petani bahkan mulai mempertimbangkan diversifikasi tanaman agar tidak sepenuhnya bergantung pada cengkeh.
Meskipun demikian, Sunarsis berharap ada solusi jangka panjang yang dapat membantu petani beradaptasi dengan perubahan iklim,
baik melalui penyuluhan, penggunaan varietas cengkeh yang lebih adaptif, maupun pengembangan metode budidaya yang lebih tahan terhadap cuaca ekstrem.
Tanpa langkah antisipasi, masa depan perkebunan cengkeh di Songgon akan semakin terancam.***











