UMKMJATIM.COM – Disebutkan bahwa cuaca yang mulai membaik di berbagai wilayah Indonesia membawa angin segar bagi para petani yang sedang melakukan masa panen raya.
Penurunan intensitas hujan menjadi faktor penting yang mendukung keberhasilan panen tahun ini.
Pada awal tahun 2025, Pemerintah telah menetapkan harga pembelian gabah dengan harga Rp6.500 per kilogram sebagai upaya mendukung perbaikan tingkat kesejahteraan petani.
Kebijakan tersebut dirancang dengan tujuan melindungi harga jual hasil panen para petani, melalui mekanisme serapan gabah oleh Perum Bulog.
Namun, di tengah melimpahnya produksi, muncul persoalan baru terkait keterbatasan kapasitas penyimpanan yang dimiliki Bulog.
Ir. Soekam Parwadi, selaku Direktur Paskomnas Indonesia, pada Senin (28/04/2025) menyampaikan bahwa Bulog menghadapi keterbatasan ruang penyimpanan.
Ia menerangkan bahwa ketika panen raya berlangsung serentak dan volume produksi meningkat drastis, tidak seluruh hasil gabah dapat tertampung di gudang Bulog.
Kondisi ini mendorong banyak petani untuk menjual hasil panennya ke pengepul atau pelaku usaha padi lokal.
Perubahan jalur distribusi ini memicu dinamika harga gabah di tingkat petani. Harga yang diterima para petani menjadi sangat fluktuatif, tergantung pada kualitas hasil panen dan kondisi pasar setempat.
Beberapa petani beruntung memperoleh harga lebih tinggi dari harga acuan pemerintah, namun tidak sedikit pula yang harus menjual gabahnya di bawah harga standar akibat rendahnya mutu produk.
Dalam penjelasannya, Soekam memaparkan bahwa setidaknya terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan fluktuasi harga gabah, yakni volume hasil panen, peran pengepul, dan kapasitas serapan Bulog.
Ia menekankan bahwa dalam situasi produksi berlimpah dan keterbatasan daya serap, maka mekanisme pasar menjadi faktor dominan dalam menentukan harga.
Kualitas gabah, menurut Soekam, menjadi aspek yang sangat krusial.
Petani yang mampu menghasilkan gabah dengan mutu baik, disebutkan memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan harga jual yang menguntungkan.
Sebaliknya, gabah berkualitas rendah cenderung dihargai lebih murah di pasar.
Fenomena ini dinilai menjadi sinyal bahwa stabilisasi harga gabah tidak dapat semata-mata bergantung pada Bulog.
Dibutuhkan strategi yang lebih komprehensif tentunya untuk bisa menjaga keseimbangan pasar.
Soekam mengusulkan pentingnya penguatan jaringan distribusi pangan nasional, termasuk pengembangan pasar modern seperti pasar induk, agar serapan hasil pertanian bisa lebih maksimal.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya upaya peningkatan kualitas produksi di tingkat petani.
Selain itu, negara dinilai perlu memperluas kapasitas serapan dengan melibatkan sektor swasta sebagai mitra strategis.
Dengan demikian, harga gabah di tingkat petani diharapkan dapat tetap stabil, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani secara berkelanjutan.
Melalui pengelolaan hasil panen yang lebih baik dan kerjasama lintas sektor, stabilitas harga gabah dan kesejahteraan petani Indonesia dapat semakin diperkuat di masa mendatang.***