UMKMJATIM.COM – Ekonomi Indonesia terus menunjukkan ketahanan di tengah tantangan global.
Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan nasional tetap konsisten berada di sekitar 5 persen.
Stabilitas ini menegaskan posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi tangguh, bahkan ketika banyak negara lain mengalami perlambatan signifikan.
Pakar Ekonomi Makro Universitas Hayam Wuruk Perbanas, Arif Zenfiki Djunedi, menilai capaian tersebut semakin memperkokoh posisi Indonesia di dunia internasional.
Tidak hanya duduk dalam kelompok negara maju dan berkembang G20, Indonesia kini juga resmi bergabung dengan forum BRICS yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan.
Menurutnya, langkah ini membuka peluang kerja sama ekonomi lebih luas dan meningkatkan daya tawar Indonesia di kancah global.
Laporan World International Trade 2024 mencatat bahwa Indonesia mengalami defisit perdagangan, di mana nilai impor lebih besar dibandingkan ekspor.
Sekilas kondisi ini terlihat mengkhawatirkan, tetapi Arif menekankan bahwa defisit tersebut justru bisa dimaknai sebagai sinyal positif.
Ia menjelaskan bahwa sebagian besar impor Indonesia saat ini berupa mesin dan faktor produksi, bukan barang konsumsi.
Dengan kata lain, impor yang tinggi bukan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek masyarakat, melainkan sebagai investasi dalam proses industrialisasi.
Mesin-mesin tersebut akan menjadi motor penggerak produktivitas nasional di masa depan.
Arif menambahkan, investasi pada faktor produksi mungkin belum terlihat memberikan hasil besar dalam waktu dekat.
Valuasi awalnya memang rendah karena manfaat ekonomi belum langsung terasa.
Namun, dalam jangka panjang, peralatan produksi modern akan meningkatkan kapasitas industri dan memperkuat daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Kondisi ini menunjukkan bahwa arah pembangunan industri nasional sudah berada di jalur yang benar.
Transformasi sedang berlangsung menuju peningkatan produktivitas, efisiensi, dan daya saing global.
Proses industrialisasi yang dijalankan Indonesia tidak bisa dipercepat secara instan.
Layaknya proses berbenah, hasilnya memerlukan waktu dan konsistensi.
Arif menggambarkan bahwa masyarakat hanya perlu menunggu saat produktivitas nasional mencapai titik efisiensi tertinggi.
Apabila fase ini berhasil dicapai, Indonesia berpotensi besar beralih dari defisit menjadi surplus perdagangan.
Surplus tersebut akan menjadi bukti nyata manfaat transformasi ekonomi, sekaligus membawa dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat luas.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil di kisaran 5 persen menjadi fondasi kuat menghadapi tantangan global.
Defisit perdagangan yang terjadi saat ini tidak semata-mata kelemahan, melainkan tanda investasi besar pada masa depan.
Dengan fokus pada impor mesin dan faktor produksi, Indonesia tengah menyiapkan diri menuju status sebagai negara industri.
Jika transformasi ini berjalan sesuai rencana, bukan hanya surplus perdagangan yang bisa diraih, tetapi juga peningkatan daya saing serta kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.***