UMKMJATIM.COM – Rencana redenominasi rupiah kembali menjadi bahan perbincangan di kalangan akademisi dan pelaku ekonomi.
Namun, dosen tetap sekaligus pakar keuangan rumah tangga dari Universitas Hayam Wuruk (UHW) Perbanas, Meliza Silvi, S.E., M.Si., menilai kebijakan tersebut belum perlu direalisasikan dalam waktu dekat.
Ia berpendapat bahwa kondisi literasi keuangan masyarakat Indonesia yang masih rendah dapat menimbulkan salah persepsi terhadap perubahan nominal uang jika redenominasi dilakukan tergesa-gesa.
Secara sederhana, redenominasi rupiah merupakan langkah penyederhanaan angka pada nominal mata uang tanpa mengubah nilai riilnya.
Misalnya, nominal Rp1.000 akan menjadi Rp1, hanya dengan menghapus tiga angka nol di belakangnya.
Nilai daya beli masyarakat sebenarnya tidak mengalami perubahan, namun skala angka pada uang akan disesuaikan agar lebih efisien digunakan dalam transaksi sehari-hari.
Meliza menjelaskan bahwa proses transisi menuju sistem nilai baru memerlukan kesiapan masyarakat, terutama dalam hal pemahaman ekonomi dasar.
Tanpa pemahaman yang baik, masyarakat berisiko mengalami kebingungan ketika melakukan transaksi atau menilai harga barang dan jasa.
Ia menilai kesalahan persepsi tersebut dapat berdampak pada ketidakstabilan ekonomi mikro dan berpotensi menimbulkan kepanikan sementara di kalangan pelaku pasar.
Selain tantangan literasi, Meliza juga menyoroti biaya logistik yang besar dalam pelaksanaan redenominasi.
Ia menyebutkan bahwa pemerintah harus mengalokasikan dana untuk mencetak uang baru, melakukan sosialisasi nasional, memperbarui sistem keuangan, hingga mengadaptasi infrastruktur perbankan dan sistem pembayaran digital.
Semua langkah tersebut membutuhkan waktu, perencanaan matang, serta kesiapan dari berbagai sektor.
Menurutnya, kebijakan redenominasi sebaiknya ditempatkan sebagai agenda jangka menengah, bukan sebagai solusi jangka pendek terhadap kondisi ekonomi.
Meliza menegaskan bahwa tujuan utama dari redenominasi bukan untuk memperbaiki ekonomi yang sedang tertekan, melainkan untuk menciptakan efisiensi moneter dan memperkuat citra mata uang rupiah di mata dunia.
Ia menilai bahwa saat ini fokus pemerintah sebaiknya tetap diarahkan pada pemulihan ekonomi nasional setelah dampak panjang pandemi.
Prioritas utama, menurutnya, adalah menjaga stabilitas harga pangan dan energi agar daya beli masyarakat tetap terjaga. “Redenominasi tidak bisa dijadikan solusi cepat. Yang lebih penting sekarang adalah memastikan kestabilan ekonomi rakyat kecil,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (11/11/2025).
Meliza juga menyoroti pentingnya memperkuat fondasi fiskal dan digitalisasi keuangan nasional sebagai langkah yang lebih realistis di masa kini.
Ia menilai bahwa peningkatan penggunaan transaksi nontunai seperti QRIS, e-wallet, dan mobile banking menjadi wujud nyata transformasi ekonomi digital di Indonesia.
Langkah tersebut dinilai lebih efektif dalam meningkatkan efisiensi sistem keuangan sekaligus mendorong literasi digital masyarakat.
Menurutnya, melalui penguatan sektor digital, masyarakat akan lebih terbiasa dengan sistem pembayaran modern dan efisien tanpa perlu melakukan perubahan besar pada nominal mata uang.
Ia menambahkan bahwa kesiapan masyarakat terhadap sistem keuangan digital dapat menjadi fondasi penting apabila redenominasi benar-benar diterapkan di masa depan.
Meliza menegaskan bahwa kebijakan seperti redenominasi memang penting untuk jangka panjang, namun penerapannya harus dilakukan secara bertahap dan berbasis edukasi publik.
Pemerintah, menurutnya, perlu memastikan bahwa masyarakat telah memahami konsep dan dampaknya, agar tidak muncul kesalahpahaman yang justru mengganggu stabilitas ekonomi nasional.
Dengan demikian, langkah paling bijak saat ini adalah memperkuat literasi keuangan, memperluas inklusi finansial, dan menjaga stabilitas ekonomi sebelum melangkah pada tahapan redenominasi rupiah secara menyeluruh.***











