UMKMJATIM.COM – Di tengah tren kuliner modern yang silih berganti, keberadaan makanan tradisional tetap menjadi primadona bagi sebagian masyarakat.
Salah satunya adalah tempe bungkil, pangan lokal khas pedesaan yang hingga kini masih dicintai karena cita rasanya yang autentik dan cara pembuatannya yang mempertahankan nilai-nilai tradisional.
Tempe bungkil tak sekadar menjadi sajian rumahan biasa, melainkan telah menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat, khususnya di Desa Curungrejo, Malang.
Salah satu pelestari makanan khas ini adalah Meskanat, seorang ibu rumah tangga berusia 43 tahun yang mewarisi usaha tempe bungkil sejak tahun 1980 dari keluarganya.
Dalam proses produksi, Meskanat menjelaskan bahwa tahapan pembuatan tempe bungkil memerlukan waktu dan ketelatenan.
Kacang kedelai sebagai bahan utama harus melalui tahap pencucian lalu direndam selama satu malam agar mengembang.
Keesokan harinya, kedelai ditiriskan dan kemudian dimasak selama kurang lebih empat jam.
Setelah dipastikan matang, kedelai harus dibiarkan dingin terlebih dahulu sebelum dicetak menjadi potongan tempe.
Total waktu pengerjaan bisa mencapai satu hari penuh.
Bahan baku utama yang digunakan untuk membuat tempe bungkil antara lain kedelai dan kopra.
Dalam satu hari produksi, UMKM milik Meskanat mengolah sekitar 30 kilogram kedelai dan 10 kilogram kopra, yang mampu menghasilkan lebih dari 1.000 potong tempe.
Tempe ini dijual dengan harga yang sangat terjangkau, mulai dari Rp500 hingga Rp1.000 per potong, dan bisa dibeli langsung oleh konsumen di pasar maupun dari rumah produksi.
Meski harga bahan baku mengalami kenaikan dari waktu ke waktu, Meskanat tetap berkomitmen untuk tidak menaikkan harga jual.
Ia berprinsip bahwa keuntungan besar bukanlah tujuan utama, melainkan menjaga kualitas dan kelestarian produknya jauh lebih penting.
Ia meyakini bahwa konsistensi dalam rasa dan ukuran adalah kunci agar pelanggan tetap setia.
Keistimewaan lain dari tempe bungkil buatan Meskanat adalah daya tahannya.
Sebagai informasi, tempe dapat bertahan hingga tiga hari, dalam suhu ruang, sedangkan jika disimpan di lemari es, bisa awet hingga satu minggu.
Hal ini membuatnya sering dijadikan oleh-oleh, bahkan hingga keluar daerah, meskipun ia belum memanfaatkan media sosial untuk promosi dan pemasaran.
Dalam kegiatan produksi sehari-hari, Meskanat dibantu oleh tiga orang lainnya, termasuk anggota keluarganya.
Ia mengaku belum memiliki tenaga yang cukup untuk mengembangkan produk menjadi makanan siap saji seperti gorengan.
Namun, ia tetap optimis bahwa usahanya bisa terus berkembang seiring waktu.
Meskanat berharap, tempe bungkil tidak hanya tetap bertahan sebagai makanan tradisional, tetapi juga dapat dikenal lebih luas sebagai warisan kuliner khas Malang yang patut dibanggakan.
Dengan mempertahankan proses tradisional dan cita rasa autentik, tempe bungkil layak menjadi bagian dari identitas kuliner Indonesia yang tak lekang oleh waktu.***