Hans Kelsen, seorang pemikir hukum berpengaruh di abad ke-20, terkenal dengan Teori Hukum Murninya (Pure Theory of Law). Teori ini menekankan hukum sebagai sistem norma yang inheren menuntut kepatuhan. Definisi Kelsen yang menyatakan hukum sebagai “kaidah ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya” menunjukkan sifat normatif hukum dan esensialitas kepatuhan bagi ketertiban sosial.
Pernyataan Kelsen ini menjadi landasan untuk memahami esensi hukum dan relevansinya dalam sistem hukum modern. Memahami teori ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang beberapa aspek kunci, yaitu Hukum sebagai Kaidah Ketertiban, Kehendak Ketaatan, dan Pandangan terhadap Pernyataan Kelsen itu sendiri.
Hukum Sebagai Kaidah Ketertiban (Normative Order)
Kelsen memandang hukum sebagai sistem norma yang mengatur perilaku manusia. “Ketertiban” di sini bukanlah ketertiban faktual, melainkan ketertiban normatif; standar perilaku yang seharusnya diikuti. Hukum menetapkan apa yang seharusnya terjadi, bukan apa yang sebenarnya terjadi. Ini membedakan hukum dari sosiologi atau psikologi yang berfokus pada fakta empiris.
Sistem norma hukum bersifat hierarkis, membentuk sebuah piramida. Norma yang lebih rendah mendapatkan validitasnya dari norma yang lebih tinggi. Di puncak hierarki terdapat Norma Dasar (Grundnorm), sebuah asumsi dasar bahwa sistem hukum tersebut sah dan wajib ditaati. Norma Dasar ini bersifat hipotetis, sebuah asumsi yang menopang keseluruhan sistem hukum.
Kehendak Ketaatan (Oughtness/Sollen)
Frasa “menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya” menunjukkan sifat preskriptif dan koersif hukum. Hukum bukan hanya sekadar informasi, tetapi perintah yang mengandung “kehendak” untuk kepatuhan. Ini adalah esensi norma hukum: mengarahkan perilaku.
Sanksi, dalam pandangan Kelsen, bukan elemen eksternal, melainkan bagian integral dari norma. Norma hukum mengaitkan tindakan tertentu dengan konsekuensi negatif (sanksi) jika perintah dilanggar. Sanksi ini menjadi kekuatan pendorong “kehendak ketaatan”. Ketaatan pada hukum didorong oleh keberadaan dan validitas hukum itu sendiri, serta sistem sanksi yang menopangnya.
Kelsen adalah seorang positivis hukum. Baginya, validitas hukum bersumber dari proses pembentukannya yang sah oleh otoritas yang berwenang, bukan dari moralitas atau keadilan. Hukum berlaku karena “ditetapkan” dan karena didukung oleh sistem sanksi.
Pandangan terhadap Pernyataan Kelsen
Pernyataan Kelsen menawarkan kerangka analitis yang kuat untuk memahami struktur dan validitas sistem hukum. Ia memisahkan hukum dari pertimbangan moral atau politis, memungkinkan studi hukum yang lebih objektif. Ini berguna untuk menganalisis bagaimana norma-norma saling terkait dan bagaimana sistem hukum bekerja.
Dalam konteks Indonesia, teori ini relevan untuk memahami pengikatan peraturan perundang-undangan, dari UUD 1945 hingga peraturan daerah. Keberadaan sanksi memperkuat “kehendak ketaatan”. Lembaga penegak hukum (polisi, jaksa, pengadilan) merupakan manifestasi dari sistem yang menerapkan sanksi ini.
Keterbatasan dan Kritik terhadap Teori Kelsen
Meskipun kuat, teori Kelsen memiliki keterbatasan. Kritik utama adalah pengabaian dimensi moral dan keadilan. Bagi Kelsen, hukum yang tidak adil tetap sah asalkan dibentuk secara prosedural. Ini menimbulkan pertanyaan etis, terutama dalam konteks rezim otoriter.
Terdapat kesenjangan antara sollen (apa yang seharusnya) dan sein (apa yang sebenarnya terjadi). Kelsen kurang membahas dinamika kepatuhan atau pelanggaran hukum dalam praktiknya. Konsep Grundnorm juga dianggap terlalu abstrak dan sulit diidentifikasi secara konkret.
Sebagai kesimpulan, meskipun terdapat kritik, Teori Hukum Murni Kelsen memberikan kontribusi signifikan dalam memahami sistem hukum. Ia menyediakan kerangka analitis yang berguna, namun perlu diimbangi dengan pertimbangan moral dan keadilan agar lebih komprehensif dalam memahami realitas hukum.