Kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer yang direkam tanpa sepengetahuannya oleh kepala sekolahnya, kemudian dituduh melanggar UU ITE karena menyebarkan rekaman tersebut, menjadi sorotan penting dalam diskusi mengenai sistem hukum Indonesia. Putusan Mahkamah Agung yang menolak Peninjauan Kembali (PK) pada 2019 memicu kontroversi luas terkait keadilan, interpretasi hukum, dan relevansi sistem peradilan di Indonesia.
Kasus ini mengungkap kompleksitas penerapan norma hukum dalam konteks sosial. Baiq Nuril, korban pelecehan verbal, justru menjadi terdakwa, menunjukkan potensi disharmoni antara hukum tertulis dan keadilan substantif. Lebih dari sekadar kasus individu, peristiwa ini merepresentasikan perjuangan melawan ketidakadilan sistemik dan menjadi momentum refleksi kritis terhadap sistem hukum yang berlaku.
Sistem Hukum Campuran di Indonesia
Indonesia menganut sistem hukum campuran, yang merupakan perpaduan dari beberapa sistem hukum. Sistem hukum sipil (civil law) menjadi dominan, diwarisi dari masa penjajahan Belanda. Sistem ini menekankan kodifikasi hukum, dengan aturan hukum yang tertulis secara sistematis dalam undang-undang. Namun, sistem hukum Indonesia juga menginkorporasikan unsur-unsur hukum adat dan hukum Islam, terutama dalam bidang hukum keluarga dan perdata.
Dalam kasus Baiq Nuril, penerapan UU ITE menjadi contoh nyata dominasi sistem hukum sipil. UU ITE, yang bertujuan untuk mengatur informasi dan transaksi elektronik, dianggap oleh sebagian pihak terlalu luas dan ambigu, seringkali digunakan untuk menjerat individu yang sebenarnya merupakan korban.
Sistem Hukum Sipil dalam Kasus Baiq Nuril
Penerapan UU ITE dalam kasus Baiq Nuril menunjukkan kelebihan dan kekurangan sistem hukum sipil. Kelebihannya terletak pada kepastian hukum karena adanya teks undang-undang yang jelas. Namun, kekakuan sistem ini juga terlihat jelas. Hakim cenderung terikat pada bunyi undang-undang, seringkali mengabaikan konteks sosial dan keadilan substantif.
Dalam kasus Baiq Nuril, fokus pada pasal-pasal UU ITE tanpa mempertimbangkan konteks pelecehan seksual yang dialaminya mengakibatkan putusan yang dianggap tidak adil oleh banyak kalangan. Hal ini menunjukan potensi sistem hukum sipil menjadi alat penindasan, bukan pelindung.
Peran Hukum Adat dan Hukum Islam
Meskipun hukum sipil dominan, pengaruh hukum adat dan hukum Islam tetap ada, khususnya pada bidang perdata dan keluarga. Namun, dalam kasus-kasus pidana seperti kasus Baiq Nuril, pengaruh kedua sistem hukum ini relatif kecil.
Integrasi yang lebih harmonis antara ketiga sistem hukum ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi kelemahan sistem hukum Indonesia saat ini. Harmoni ini dapat dicapai melalui interpretasi hukum yang lebih bijak, yang mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kearifan lokal.
Evaluasi Relevansi Sistem Hukum Indonesia
Kasus Baiq Nuril menjadi bukti nyata bahwa sistem hukum Indonesia, khususnya dalam penerapan UU ITE, perlu dievaluasi secara menyeluruh. Ketidakrelevanan sistem ini dalam melindungi korban dan ancaman terhadap keadilan substantif menjadi sorotan utama.
Kekakuan dan ruang interpretasi yang sempit dalam sistem hukum sipil mengakibatkan putusan yang seringkali tidak mencerminkan keadilan. Perlu ada reformasi dalam interpretasi hukum, penguatan peran hakim dalam mencari keadilan, serta revisi undang-undang yang berpotensi menjadi alat ketidakadilan, seperti UU ITE.
- Ketidakrelevanan dalam Perlindungan Korban: UU ITE seringkali digunakan untuk menjerat korban, bukan pelaku. Interpretasi dan penerapannya perlu direvisi agar lebih berpihak pada korban.
- Ancaman terhadap Keadilan Substantif: Keadilan prosedural seringkali diutamakan di atas keadilan substantif. Perlu keseimbangan antara kedua hal tersebut.
- Ruang Interpretasi yang Kurang Fleksibel: Sistem hukum yang terlalu kaku dan kurang fleksibel tidak dapat mengakomodasi kompleksitas kasus-kasus yang memiliki nuansa sosial dan moral yang mendalam.
Kasus Baiq Nuril menunjukkan bahwa relevansi sistem hukum tidak hanya terletak pada keberadaan undang-undang, tetapi juga pada kemampuannya menciptakan keadilan substantif bagi seluruh masyarakat. Reformasi yang komprehensif sangat dibutuhkan untuk memastikan sistem hukum Indonesia benar-benar berfungsi sebagai pelindung dan penegak keadilan, bukan sebagai alat penindasan.
Kesimpulannya, sistem hukum Indonesia memerlukan perbaikan signifikan. Bukan hanya revisi undang-undang, tetapi juga perubahan paradigma dalam interpretasi dan penegakan hukum. Prioritas utama haruslah melindungi hak-hak korban dan menciptakan rasa keadilan yang nyata bagi seluruh lapisan masyarakat. Kasus Baiq Nuril merupakan pelajaran berharga untuk membangun sistem hukum yang lebih adil dan relevan.