UMKMJATIM.COM – Perkembangan teknologi terus bergerak cepat dan memberikan dampak signifikan pada berbagai sektor, termasuk dunia pertanian.
Berbagai negara berlomba menghadirkan inovasi untuk menjaga ketahanan pangan sekaligus menekan ancaman lingkungan yang semakin nyata.
Salah satu inovasi yang belakangan menarik perhatian adalah pengembangan padi rendah karbon.
Konsep ini mulai digencarkan karena dinilai mampu menekan kontribusi pertanian terhadap perubahan iklim global.
Berdasarkan informasi yang disampaikan melalui laman resmi lembaga penelitian nasional, dunia pertanian disebut perlu melakukan lompatan inovatif untuk menghadapi tantangan produksi padi yang semakin kompleks.
Ancaman perubahan iklim, tekanan global terhadap produktivitas, serta kebutuhan pangan yang terus meningkat menjadi alasan utama mengapa transformasi sistem pertanian tidak lagi bisa ditunda.
Lembaga riset tersebut menekankan bahwa inovasi harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari teknik budidaya, irigasi, hingga strategi pengelolaan limbah.
Salah satu strategi utama yang dijadikan fokus dalam pengembangan padi rendah karbon adalah teknik alternate wetting and drying (AWD).
Metode ini diterapkan sebagai alternatif dari sistem irigasi tradisional yang mengandalkan perendaman lahan secara terus-menerus.
Teknik AWD dilakukan dengan memberikan jeda pengeringan pada lahan sawah sebelum air kembali dialirkan.
Pendekatan tersebut terbukti mampu menurunkan pembentukan gas metana yang biasanya muncul dari kondisi lahan tergenang.
Selain itu, penggunaan air juga menjadi lebih efisien tanpa merusak produktivitas tanaman.
Penerapan padi rendah karbon tidak berhenti pada teknik irigasi saja. Manajemen pemupukan spesifik lokasi juga menjadi strategi penting dalam program ini.
Pendekatan tersebut mendorong petani untuk menyesuaikan kebutuhan pupuk berdasarkan kondisi tanah dan lingkungan setempat, bukan sekadar mengikuti pola umum.
Pemanfaatan sensor teknologi untuk menentukan kebutuhan nutrisi tanaman semakin memperjelas bahwa pertanian kini bergerak menuju digitalisasi dan presisi yang lebih tinggi.
Di sisi lain, pendekatan pertanian sirkular pascapanen juga menjadi bagian dari strategi besar penurunan emisi.
Pengelolaan jerami, yang sebelumnya sering dibakar, kini diarahkan pada pemanfaatan kembali sebagai bahan kompos, pakan ternak, atau produk material lain yang berguna.
Pembakaran jerami dikenal sebagai salah satu penyumbang besar emisi metana dan nitrogen dioksida.
Dengan perubahan pola pengelolaan, dampak negatif terhadap lingkungan dapat ditekan secara signifikan.
Sistem pertanian tradisional yang mengandalkan perendaman lahan dan pembakaran limbah pertanian disebut sebagai penyumbang utama peningkatan gas rumah kaca.
Oleh sebab itu, teknologi seperti AWD, pemupukan berbasis sensor, serta teknik tanam langsung atau direct-seeded rice dinilai mampu menurunkan jejak karbon.
Semua metode tersebut disusun untuk mencapai keseimbangan antara efisiensi produksi dan keberlanjutan lingkungan.
Mengingat padi merupakan sumber pangan pokok bagi lebih dari setengah penduduk dunia, keberlangsungan sistem produksinya menjadi isu penting.
Pengaturan yang baik, mulai dari fase pra hingga pascapanen, menjadi salah satu kunci dalam mempertahankan produksi yang stabil sekaligus melindungi ekosistem.
Dengan mengadopsi inovasi ramah lingkungan, negara-negara produsen padi diharapkan dapat menekan dampak negatif yang berpotensi mengancam masa depan pangan global.
Transformasi menuju padi rendah karbon bukan hanya sekadar tren, tetapi sebuah kebutuhan mendesak untuk menjawab tantangan zaman.
Implementasi strategi ini menjadi langkah strategis dalam menjaga bumi, sekaligus memastikan ketahanan pangan tetap terjaga untuk generasi mendatang.***











