UMKMJATIM.COM – Perubahan iklim yang kian tidak menentu di berbagai wilayah Indonesia menjadi tantangan serius bagi petani dalam menjaga stabilitas produksi pangan nasional.
Curah hujan ekstrem, pergeseran musim, hingga gelombang panas berdampak langsung pada pola tanam dan hasil panen.
Dalam kondisi ini, ketahanan pangan dinilai tidak bisa hanya diukur dari besarnya angka produksi, melainkan juga dari kelancaran distribusi serta keterjangkauan harga bagi masyarakat.
Direktur Paskomnas Indonesia, Ir. Soekam Parwadi, menilai bahwa data surplus pangan secara nasional belum tentu menggambarkan kondisi riil di lapangan.
Menurutnya, klaim surplus beras puluhan juta ton perlu diikuti dengan kejelasan lokasi stok dan mekanisme distribusi yang efektif.
Tanpa sistem distribusi yang baik, surplus tidak akan berdampak pada stabilitas harga maupun kesejahteraan petani dan konsumen.
Soekam berpandangan bahwa keseimbangan harga menjadi tujuan utama dalam tata kelola pangan.
Ia menekankan pentingnya memastikan petani tetap memperoleh keuntungan yang layak, sementara konsumen tidak terbebani harga tinggi.
Hal ini hanya dapat dicapai jika distribusi berjalan merata dan terjangkau hingga ke wilayah konsumsi.
Ia juga menyoroti bahwa distribusi pangan tidak semata-mata persoalan ekonomi, tetapi memiliki dimensi sosial yang kuat.
Pangan dipandang sebagai komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Oleh karena itu, menurutnya, negara perlu memastikan masyarakat berpenghasilan rendah tetap dapat mengakses pangan melalui skema bantuan sosial, tanpa mematikan mekanisme pasar.
Pasar tetap diperlukan sebagai penentu harga agar pedagang kecil dan pelaku usaha pangan tetap bertahan.
Dalam konteks perubahan iklim, Soekam menjelaskan bahwa tantangan yang dihadapi petani berbeda-beda pada setiap komoditas.
Komoditas seperti gabah dan jagung relatif masih dapat disimpan lebih lama dengan dukungan teknologi pengeringan dan penyimpanan.
Namun, komoditas hortikultura seperti cabai, bawang, dan tomat menghadapi persoalan lebih kompleks karena sifatnya yang mudah rusak dan membutuhkan penanganan pascapanen yang lebih canggih.
Ia menilai hingga saat ini teknologi penyimpanan yang mampu menjaga kesegaran produk hortikultura dalam waktu lama masih terbatas, sementara konsumen menuntut produk segar dengan kualitas baik.
Ketimpangan ini sering memicu fluktuasi harga tajam, terutama saat terjadi gangguan cuaca ekstrem.
Lebih lanjut, Soekam menegaskan bahwa kunci ketahanan pangan ke depan terletak pada pengembangan varietas unggul yang sesuai dengan kebutuhan pasar sekaligus adaptif terhadap perubahan iklim.
Varietas unggul tidak hanya diukur dari tingginya hasil panen, tetapi juga dari daya tahan terhadap hama, efisiensi penggunaan pupuk, serta kemampuannya bertahan dalam kondisi hujan berlebih maupun kekeringan.
Di akhir pandangannya, Soekam menekankan pentingnya kehadiran negara secara nyata.
Ia menilai petani tidak seharusnya dibiarkan menghadapi ketidakpastian iklim sendirian tanpa dukungan alat, teknologi, dan kebijakan yang memadai.
Peran negara, menurutnya, harus diwujudkan dalam tindakan konkret di lapangan, bukan sekadar pernyataan atau slogan, agar ketahanan pangan nasional benar-benar terjaga di tengah tantangan perubahan iklim.***











