Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat *positive legislator*, yaitu putusan yang tidak hanya membatalkan norma hukum, tetapi juga menciptakan norma baru, merupakan fenomena yang kompleks dan memicu perdebatan. Perdebatan ini berpusat pada kewenangan MK dan implikasinya terhadap prinsip pemisahan kekuasaan.
Proponen putusan *positive legislator* berpendapat bahwa tindakan ini diperlukan untuk mencegah kekosongan hukum dan melindungi hak konstitusional warga negara. Mereka menekankan pentingnya keadilan substantif dan efektivitas perlindungan HAM, terutama ketika legislatif lamban atau gagal merespon perubahan sosial.
Sebagai contoh, jika MK membatalkan peraturan penting untuk pelayanan publik tanpa memberikan solusi pengganti, hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang lebih besar. Dalam situasi seperti ini, intervensi MK dapat dianggap sebagai solusi sementara demi kepentingan umum hingga legislatif menghasilkan pengganti yang sesuai.
Argumentasi Mendukung Putusan *Positive Legislator*
Secara penalaran hukum, argumen ini didasarkan pada prinsip keadilan substantif dan efektivitas perlindungan hak asasi manusia. MK, sebagai penjaga konstitusi, dapat bertindak sebagai “penjaga terakhir” ketika legislatif lalai atau gagal memenuhi amanat konstitusi.
Sistem hukum Indonesia yang dinamis dan kompleks seringkali menghadapi situasi di mana pembentuk undang-undang tidak dapat mengantisipasi semua kemungkinan atau gagal merespon perubahan sosial secara cepat. Dalam kondisi ini, intervensi MK dapat dipandang sebagai jalan keluar untuk menjaga stabilitas hukum dan konstitusi.
Argumentasi Menentang Putusan *Positive Legislator*
Di sisi lain, kritik terhadap putusan *positive legislator* berfokus pada kekhawatiran bahwa tindakan ini melampaui batas kewenangan MK sebagai lembaga yudikatif dan menginvasi ranah legislatif. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers).
Kekhawatiran utama adalah pengaburan batas kewenangan antara yudikatif dan legislatif, yang dapat mengurangi fungsi legislatif sebagai representasi kehendak rakyat. Legislatif mendapatkan legitimasi melalui pemilihan umum, sementara hakim konstitusi tidak dipilih secara langsung oleh rakyat.
Oleh karena itu, putusan *positive legislator* dianggap kurang memiliki legitimasi demokratis. Selain itu, terdapat potensi penyalahgunaan kekuasaan atau “aktivisme yudisial” yang berlebihan, di mana MK mungkin memaksakan pandangannya sendiri atas kebijakan publik.
Konteks Peraturan dan Penalaran Hukum di Indonesia
Pasal 24C UUD 1945 dan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi mengatur kewenangan MK. Secara eksplisit, tidak ada ketentuan yang memberikan kewenangan kepada MK untuk menciptakan norma hukum baru. Kewenangan MK terutama pada pengujian undang-undang, penyelesaian sengketa antar lembaga negara, dan hal-hal lain yang telah tercantum.
Namun, MK sering menggunakan metode penafsiran progresif atau sistematis untuk menemukan makna konstitusi yang selaras dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai keadilan. Dalam kasus tertentu, MK berargumen bahwa pembatalan norma tanpa pengganti akan merugikan hak fundamental.
Dalam situasi demikian, MK mungkin merumuskan norma minimal untuk melindungi hak tersebut, dengan harapan legislatif akan segera menyempurnakannya. Namun, pendekatan ini tetap memicu perdebatan mengenai batas kewenangan dan legitimasi MK.
Pertimbangan Tambahan
Perlu dipertimbangkan pula kualitas dan dampak jangka panjang dari norma baru yang dibuat oleh MK. Apakah norma tersebut benar-benar diperlukan dan efektif, atau justru menimbulkan masalah hukum baru? Evaluasi yang komprehensif terhadap putusan-putusan *positive legislator* MK sangat penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan integritas sistem hukum Indonesia.
Diskusi yang lebih luas melibatkan peran lembaga legislatif dalam merespon putusan MK. Apakah legislatif cukup responsif dalam merevisi atau mengganti peraturan yang dibatalkan oleh MK? Kemampuan legislatif untuk bertindak cepat dan efektif menjadi kunci dalam mengurangi kebutuhan MK untuk bertindak sebagai *positive legislator*.
Terakhir, transparansi dan akuntabilitas MK dalam mengambil keputusan *positive legislator* perlu ditingkatkan. Mekanisme yang jelas dan partisipatif dalam proses pengambilan keputusan akan meningkatkan legitimasi putusan dan mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan.