Sebelum reformasi, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) berperan krusial dalam pembangunan nasional. GBHN secara tegas menempatkan koperasi sebagai “soko guru” perekonomian, sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang kala itu secara eksplisit menyebut koperasi sebagai bentuk usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan.
Namun, pasca reformasi, GBHN dihapuskan dan amandemen UUD 1945 menghilangkan penjelasan Pasal 33 yang menyebut koperasi secara spesifik. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keberlangsungan eksistensi koperasi tanpa payung hukum konstitusional yang eksplisit.
Peran GBHN dalam Mempertahankan Eksistensi Koperasi: Sebuah Tinjauan
Untuk mengkaji peran GBHN, kita perlu melihat dua aspek: perannya sebelum dihapuskan dan dampak penghapusannya terhadap koperasi.
Peran GBHN Sebelum Penghapusannya
Selama Orde Baru hingga awal reformasi, GBHN menjadi pedoman utama pembangunan. Setiap GBHN secara konsisten menjadikan koperasi sebagai prioritas dalam visi dan misi pembangunan ekonomi. Ini menunjukkan komitmen negara dalam mengembangkan koperasi.
GBHN memberikan mandat kepada pemerintah untuk membuat kebijakan yang mendukung koperasi. Kebijakan ini mencakup kemudahan perizinan, akses modal, pembinaan manajemen, dan perlindungan pasar produk koperasi.
GBHN juga memastikan kesinambungan pembangunan koperasi antar periode pemerintahan. Koperasi bukan sekadar program sektoral, melainkan bagian integral dari strategi pembangunan ekonomi nasional. GBHN juga memperkuat interpretasi Pasal 33 UUD 1945 yang secara eksplisit menyebut koperasi.
Dampak Penghapusan GBHN dan Kata “Koperasi” dari Penjelasan Pasal 33
Penghapusan GBHN pasca reformasi sebagai bagian dari penguatan sistem presidensial, menimbulkan dampak signifikan. Kini, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menjadi acuan utama, yang berbasis visi dan misi presiden terpilih.
Amandemen UUD 1945 juga menghapus penjelasan Pasal 33, termasuk yang menyebut koperasi secara spesifik. Ini mengakibatkan ambiguitas interpretasi Pasal 33, walaupun prinsip “usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” tetap tercantum.
Hilangnya GBHN juga menghilangkan pedoman pembangunan makro yang koheren dan mengarah pada potensi melemahnya dukungan kebijakan terhadap koperasi. Dukungan kebijakan kini bergantung pada komitmen politik pemerintah yang berkuasa.
Selain itu, koperasi kini menghadapi tantangan penguatan legalitas dan kelembagaan. Undang-Undang Perkoperasian menjadi sangat krusial sebagai payung hukum, karena perlindungan konstitusionalnya tidak sekuat sebelumnya.
Sejauh Mana Peran GBHN Sekarang?
Secara langsung, GBHN sudah tidak memiliki peran lagi dalam mempertahankan eksistensi koperasi. Namun, warisan ideologisnya masih berpengaruh. Gagasan koperasi sebagai “soko guru perekonomian” masih melekat dalam kesadaran nasional. Ini membentuk semacam “memori kolektif” yang masih dipegang oleh sebagian masyarakat.
Meskipun tidak disebut secara eksplisit, amanat Pasal 33 UUD 1945 pasca amandemen, khususnya tentang demokrasi ekonomi, tetap relevan dan sejalan dengan filosofi koperasi. Undang-Undang Perkoperasian dan kebijakan turunannya menjadi instrumen hukum yang lebih relevan sekarang.
Kesimpulannya, GBHN tidak lagi memiliki peran fungsional, tetapi warisan ideologisnya tetap penting. Keberlangsungan koperasi kini sangat bergantung pada interpretasi pemerintah dan DPR terhadap Pasal 33 UUD 1945, serta pada kekuatan gerakan koperasi sendiri dalam mengadvokasi kebijakan yang berpihak pada mereka.
Perlu diingat bahwa pengembangan koperasi juga memerlukan inovasi dan adaptasi terhadap perkembangan zaman. Integrasi teknologi, pengembangan manajemen modern, dan akses pasar yang luas menjadi kunci keberhasilan koperasi di era globalisasi. Pemerintah juga perlu merumuskan strategi yang komprehensif, bukan hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada pembinaan dan pemberdayaan koperasi.
Perlu adanya evaluasi berkala terhadap kebijakan dan program pengembangan koperasi untuk memastikan efektivitas dan relevansi dengan konteks perekonomian saat ini. Keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan kemajuan koperasi sebagai pilar perekonomian nasional.