Isu pengelolaan lingkungan hidup merupakan tantangan global yang mendesak. Indonesia, dengan kekayaan biodiversitasnya yang luar biasa namun rapuh terhadap perubahan iklim, memiliki tanggung jawab besar dalam pelestarian alam. Bagi umat Katolik, menjaga ciptaan bukanlah sekadar pilihan, melainkan sebuah mandat spiritual dan moral yang tertanam kuat dalam ajaran Gereja.
Ensiklik Laudato Si’ Paus Fransiskus memberikan kerangka teologis dan pastoral komprehensif tentang “ekologi integral,” menyatukan keprihatinan sosial dan lingkungan. Artikel ini akan menguraikan sikap umat Katolik terhadap pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, berdasarkan ajaran Gereja dan konteks lokal yang kompleks.
Sikap Seorang Katolik Terhadap Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Sebagai umat Katolik, sikap terhadap pengelolaan lingkungan hidup bersumber dari pemahaman iman dan ajaran Gereja. Pandangan dasar ini menekankan kesakralan alam sebagai ciptaan Tuhan, sebuah anugerah yang harus dijaga, bukan dieksploitasi. Di Indonesia, dengan kekayaan alam yang besar namun rentan terhadap kerusakan, sikap ini menjadi semakin penting.
Aspek-Aspek Sikap Umat Katolik Terhadap Pengelolaan Lingkungan Hidup
1. Spiritualitas Penciptaan dan Tanggung Jawab Penatalayanan (Stewardship)
Iman Katolik mengajarkan bahwa alam semesta adalah manifestasi kemuliaan dan kasih Allah. Setiap elemen ciptaan memiliki nilai intrinsik. Sikap hormat dan kagum pada alam sebagai “buku kedua” yang mengungkapkan keberadaan dan kehendak Allah adalah kunci.
Kitab Kejadian memerintahkan manusia untuk “menguasai” dan “memelihara” bumi. Ini bukan dominasi sewenang-wenang, melainkan penatalayanan yang bertanggung jawab. Manusia adalah penjaga dan pelayan ciptaan, bukan perusak. Di Indonesia, ini berarti terlibat aktif dalam konservasi hutan, laut, dan keanekaragaman hayati.
2. Ekologi Integral dan Keadilan Sosial
Ensiklik Laudato Si’ Paus Fransiskus (2015) menjadi panduan utama. Paus menyerukan “ekologi integral,” menghubungkan krisis lingkungan dan krisis sosial. Kerusakan lingkungan seringkali paling berdampak pada kaum miskin dan rentan.
Di Indonesia, ini berarti melawan praktik-praktik yang merusak lingkungan dan memiskinkan masyarakat, seperti perambahan hutan ilegal, pencemaran air oleh industri, atau eksploitasi tambang yang tidak berkelanjutan. Ini adalah panggilan untuk keadilan ekologis dan sosial.
3. Gaya Hidup Bertanggung Jawab dan Pertobatan Ekologis
Umat Katolik diajak untuk merefleksikan gaya hidup konsumtif yang berlebihan. Kesederhanaan, pengurangan pemborosan, daur ulang, dan pilihan produk ramah lingkungan penting. Ini adalah bentuk “pertobatan ekologis” individu.
Edukasi dan advokasi juga krusial. Belajar tentang isu lingkungan dan menyebarkan kesadaran kepada orang lain, mendukung kampanye lingkungan, bergabung dengan komunitas peduli lingkungan, atau mengadvokasi kebijakan pemerintah yang lebih pro-lingkungan.
4. Aksi Nyata di Tingkat Lokal
Sikap ini harus diwujudkan dalam aksi nyata di tingkat paroki atau komunitas. Contohnya program pengelolaan sampah, penanaman pohon, edukasi tentang energi terbarukan, atau inisiatif kebun komunitas.
Kolaborasi dengan berbagai pihak – pemerintah, LSM, komunitas agama lain, dan masyarakat adat – sangat penting untuk solusi bersama. Ini merupakan dialog ekumenis dan antariman demi kebaikan bersama.
5. Berpihak pada Lingkungan yang Sakit
Sikap Katolik juga berarti empati terhadap “tangisan bumi” dan “tangisan orang miskin.” Kerusakan lingkungan bukan hanya masalah teknis, melainkan krisis moral dan spiritual. Ini mendorong umat Katolik untuk menjadi “suara bagi yang tak bersuara” dan “pembela bagi ciptaan yang terluka.”
Konteks Indonesia yang kaya akan budaya lokal dan adat istiadat juga memerlukan pendekatan yang sensitif dan inklusif dalam penerapan prinsip-prinsip ekologi integral. Melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam, menghormati pengetahuan tradisional mereka tentang lingkungan, serta memastikan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan hidup mereka sangatlah penting. Kerjasama antar agama juga dapat memperkuat upaya pelestarian lingkungan hidup di Indonesia yang majemuk.
Secara keseluruhan, sikap seorang Katolik terhadap pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia haruslah holistik, melibatkan spiritualitas, aksi nyata, dan komitmen terhadap keadilan sosial. Ini adalah panggilan untuk menjadi penjaga ciptaan Allah, demi kesejahteraan manusia dan kelestarian bumi untuk generasi mendatang.